BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Narsisisme
memiliki sebuah peranan yang sehat dalam artian membiasakan seseorang untuk
berhenti bergantung pada standar dan prestasi orang lain demi membuat dirinya
bahagia. Namun apabila jumlahnya berlebihan, dapat menjadi suatu kelainan
kepribadian yang bersifat patologis. Kelainan kepribadian atau bisa disebut
juga penyimpangan kepribadian merupakan istilah umum untuk jenis penyakit
mental seseorang, dimana pada kondisi tersebut cara berpikir, cara memahami
situasi dan kemampuan berhubungan dengan orang lain tidak berfungsi normal.
Kondisi itu membuat seseorang memiliki sifat yang menyebabkannya merasa dan
berperilaku dengan cara-cara yang menyedihkan, membatasi kemampuannya untuk
dapat berperan dalam suatu hubungan. Seseorang yang narsis biasanya memiliki
rasa percaya diri yang sangat kuat, namun apabila narsisme yang dimilikinya
sudah mengarah pada kelainan yang bersifat patologis, maka rasa percaya diri
yang kuat tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk rasa percaya diri yang
tidak sehat, karena hanya memandang dirinya lah yang paling hebat dari orang
lain tanpa bisa menghargai orang lain.
Lebih lanjut Fromm
berpendapat, narsisme merupakan kondisi pengalaman seseorang yang dia rasakan
sebagai sesuatu yang benar-benar nyata hanyalah tubuhnya, kebutuhannya,
perasaannya, pikirannya, serta benda atau orang-orang yang masih ada hubungan
dengannya. Sebaliknya, orang atau kelompok lain yang tidak menjadi bagiannya
senatiasa dianggap tidak nyata, inferior, tidak memiliki arti, dan karenanya
tidak perlu dihiraukan. Bahkan, ketika yang lain itu dianggap sebagai ancaman,
apa pun bisa dilakukan, melalui agresi sekalipun (Pikiran Rakyat, 14/04/2003).
Sedangkan menurut
Papu (2002) yang mengutip DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders – Fourth Edition) orang yang narsistik akan mengalami gangguan
kepribadian, gangguan kepribadian yang dimaksud adalah gangguan kepribadian
narsisistik atau narcissistic personality disorder. Gangguan kepribadian ini
ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling
penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan
disanjung, kurang memiliki empathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya
layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa perilaku narsistik ditandai dengan kecenderungan untuk
memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan
dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian selain itu juga tumbuh perasaan
paling mampu, paling unik
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang di atas dapat diketahui beberapa masalah diantaranya
a.
Apa itu Narsisme?
b.
Apakah ada hubungannya
dengan kompensasi pengalaman kematian?
C.
Tujuan
a.
Mengetahui pengertian
narsisme
b.
Mengetahui hubungan
narsisme dengan kompensasi kematian
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Narsisme
dan Kompensasi Pengalaman Kematian
Narsisisme (dari
bahasa Inggris) atau narsisme (dari bahasa Belanda) adalah perasaan
cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang mengalami gejala ini
disebut narsisis (narcissist). Istilah ini pertama kali digunakan dalam
psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh dalam mitos Yunani,
Narkissos (versi bahasa Latin: Narcissus), yang dikutuk sehingga ia mencintai
bayangannya sendiri di kolam. Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya, sehingga
ia tenggelam dan tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis. Sifat
narsisisme ada dalam setiap manusia sejak lahir, bahkan Andrew Morrison
berpendapat bahwa dimilikinya sifat narsisisme dalam jumlah yang cukup akan
membuat seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara kebutuhannya dalam
hubungannya dengan orang lain.
Seni memungkinkan seniman dan
peminatnya memimpikan eksistensi yang tidak dimungkinkan oleh batas-batas
kenyataan, unyuk menciptakan kembaran-kembaran yang mengungkapkan hasratnya akan
kelanggengan hidup, kembaran yang sekaligus merupakan projeksi ego dan ideal
ego, yang memungkinkan kerja ganda. Narsisme yaitu mencintai diri sendiri
sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya.
Dalam sebuah teks yang
tidak begitu dikenal, yang diangkat dari Considerations
actuelles sur la guerre et sur la mort (Renungan Aktual tentang Perang dan
Kematian), terbit tahun 1915, Freud menerangkan dengan amat jelas mengapa dan
bagaimana sastra dan drama merupakan kompensasi pengalaman kematian kita, dan
bagaimana ciri tersebut menjadikannya wilayah pilihan narsisme,
“suatu hasil yang tak
terhindarkan dari semua hal itulah yang harus kita cari dalam dunia fiksi, dalam
sastra, dan dalam drama, suatu pengganti hal yang hilang dalam kehidupan.
(...). Hanya disitulah kondisi yang dapat mendamaikan kita dengan kematian bisa
diisi. Terutama dibalik liku-liku kehidupan kita mampu mempertahankan kehidupan
yang tidak tersentuh; karena memang menyedihkan hidup yang seperti permainan
catur ini, satu langkah salah kitapun kalah (...). Dalam wilayah fiksi kita
menemukan kemajemukan hidup yang kita butuhkan. Kita dapat mati seperti pemeran
utama yang kita sukai, sementara kita terus hidup dan siap untuk mati lagi
dengan tokoh lain dalam keadaan sehat dan selamat.”
Dalam kutipan di atas
tidak hanya ada gagasan bahwa seni memungkinkan kita untuk melipatgandakan
eksistensi kita dengan mengaktualisasikan kemunkinan-kemungkinan yang tidak
dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata. Gagasan tersebut tidak terlalu
istimewa. Ada juga gagasan bahwa seni memungkinkan kita untuk melipatgandakan
kematian, untuk berkali-kali menyeberangi kematian, sehingga seakan-akan
melalui seni kita menjinakkan kematian.
Ada satu hal lagi yang
memungkinkan pencipta memuaskan narsismenya melalui seni, yang memungkinkan
juga pemuasan narsisme peminatnya. Seni memberikan ilusi pada seniman bahwa dia
adalah karya-karyanya, ilusi seakan dia sang pencipta. Hal itulah yang
menimbulkan gejala baru yang begitu berkembang di dunia modern, yang
penyanjungan seniman, termasuk konsepsi ideologis tentang seni transendental
yang bebas dari kausalitasnya maupun semua determinisme.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Narsisme
adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang
mengalami gejala ini disebut narsisis (narcissist). Istilah ini pertama kali
digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh dalam
mitos Yunani, Narkissos (versi bahasa Latin: Narcissus), yang dikutuk sehingga
ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Tanpa sengaja ia menjulurkan
tangannya, sehingga ia tenggelam dan tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut
bunga narsis. Sifat narsisisme ada dalam setiap manusia sejak lahir.
Melalui seni narsisme
juga memungkinkan kita untuk melipatgandakan eksistensi kita dengan
mengaktualisasikan kemunkinan-kemungkinan yang tidak dapat diwujudkan dalam
kehidupan nyata. Gagasan tersebut tidak terlalu istimewa. Ada juga gagasan
bahwa seni memungkinkan kita untuk melipatgandakan kematian, untuk berkali-kali
menyeberangi kematian, sehingga seakan-akan melalui seni kita menjinakkan
kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Max
Miner. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra. Jakarta: Intermasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar