Kamis, 29 Mei 2014

Narsisme dan Kompensasi Pengalaman Kematian


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Narsisisme memiliki sebuah peranan yang sehat dalam artian membiasakan seseorang untuk berhenti bergantung pada standar dan prestasi orang lain demi membuat dirinya bahagia. Namun apabila jumlahnya berlebihan, dapat menjadi suatu kelainan kepribadian yang bersifat patologis. Kelainan kepribadian atau bisa disebut juga penyimpangan kepribadian merupakan istilah umum untuk jenis penyakit mental seseorang, dimana pada kondisi tersebut cara berpikir, cara memahami situasi dan kemampuan berhubungan dengan orang lain tidak berfungsi normal. Kondisi itu membuat seseorang memiliki sifat yang menyebabkannya merasa dan berperilaku dengan cara-cara yang menyedihkan, membatasi kemampuannya untuk dapat berperan dalam suatu hubungan. Seseorang yang narsis biasanya memiliki rasa percaya diri yang sangat kuat, namun apabila narsisme yang dimilikinya sudah mengarah pada kelainan yang bersifat patologis, maka rasa percaya diri yang kuat tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk rasa percaya diri yang tidak sehat, karena hanya memandang dirinya lah yang paling hebat dari orang lain tanpa bisa menghargai orang lain.
Lebih lanjut Fromm berpendapat, narsisme merupakan kondisi pengalaman seseorang yang dia rasakan sebagai sesuatu yang benar-benar nyata hanyalah tubuhnya, kebutuhannya, perasaannya, pikirannya, serta benda atau orang-orang yang masih ada hubungan dengannya. Sebaliknya, orang atau kelompok lain yang tidak menjadi bagiannya senatiasa dianggap tidak nyata, inferior, tidak memiliki arti, dan karenanya tidak perlu dihiraukan. Bahkan, ketika yang lain itu dianggap sebagai ancaman, apa pun bisa dilakukan, melalui agresi sekalipun (Pikiran Rakyat, 14/04/2003).
Sedangkan menurut Papu (2002) yang mengutip DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders – Fourth Edition) orang yang narsistik akan mengalami gangguan kepribadian, gangguan kepribadian yang dimaksud adalah gangguan kepribadian narsisistik atau narcissistic personality disorder. Gangguan kepribadian ini ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki empathy, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku narsistik ditandai dengan kecenderungan untuk memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian selain itu juga tumbuh perasaan paling mampu, paling unik
B.            Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diketahui beberapa masalah diantaranya
a.       Apa itu Narsisme?
b.      Apakah ada hubungannya dengan kompensasi pengalaman kematian?

C.           Tujuan
a.       Mengetahui pengertian narsisme
b.      Mengetahui hubungan narsisme dengan kompensasi kematian

BAB II
PEMBAHASAN
1.             Narsisme dan Kompensasi Pengalaman Kematian
Narsisisme (dari bahasa Inggris) atau narsisme (dari bahasa Belanda) adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang mengalami gejala ini disebut narsisis (narcissist). Istilah ini pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos (versi bahasa Latin: Narcissus), yang dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya, sehingga ia tenggelam dan tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis. Sifat narsisisme ada dalam setiap manusia sejak lahir, bahkan Andrew Morrison berpendapat bahwa dimilikinya sifat narsisisme dalam jumlah yang cukup akan membuat seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara kebutuhannya dalam hubungannya dengan orang lain.
 Seni memungkinkan seniman dan peminatnya memimpikan eksistensi yang tidak dimungkinkan oleh batas-batas kenyataan, unyuk menciptakan kembaran-kembaran yang mengungkapkan hasratnya akan kelanggengan hidup, kembaran yang sekaligus merupakan projeksi ego dan ideal ego, yang memungkinkan kerja ganda. Narsisme yaitu mencintai diri sendiri sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya.
Dalam sebuah teks yang tidak begitu dikenal, yang diangkat dari Considerations actuelles sur la guerre et sur la mort (Renungan Aktual tentang Perang dan Kematian), terbit tahun 1915, Freud menerangkan dengan amat jelas mengapa dan bagaimana sastra dan drama merupakan kompensasi pengalaman kematian kita, dan bagaimana ciri tersebut menjadikannya wilayah pilihan narsisme,

“suatu hasil yang tak terhindarkan dari semua hal itulah yang harus kita cari dalam dunia fiksi, dalam sastra, dan dalam drama, suatu pengganti hal yang hilang dalam kehidupan. (...). Hanya disitulah kondisi yang dapat mendamaikan kita dengan kematian bisa diisi. Terutama dibalik liku-liku kehidupan kita mampu mempertahankan kehidupan yang tidak tersentuh; karena memang menyedihkan hidup yang seperti permainan catur ini, satu langkah salah kitapun kalah (...). Dalam wilayah fiksi kita menemukan kemajemukan hidup yang kita butuhkan. Kita dapat mati seperti pemeran utama yang kita sukai, sementara kita terus hidup dan siap untuk mati lagi dengan tokoh lain dalam keadaan sehat dan selamat.”

Dalam kutipan di atas tidak hanya ada gagasan bahwa seni memungkinkan kita untuk melipatgandakan eksistensi kita dengan mengaktualisasikan kemunkinan-kemungkinan yang tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata. Gagasan tersebut tidak terlalu istimewa. Ada juga gagasan bahwa seni memungkinkan kita untuk melipatgandakan kematian, untuk berkali-kali menyeberangi kematian, sehingga seakan-akan melalui seni kita menjinakkan kematian.
Ada satu hal lagi yang memungkinkan pencipta memuaskan narsismenya melalui seni, yang memungkinkan juga pemuasan narsisme peminatnya. Seni memberikan ilusi pada seniman bahwa dia adalah karya-karyanya, ilusi seakan dia sang pencipta. Hal itulah yang menimbulkan gejala baru yang begitu berkembang di dunia modern, yang penyanjungan seniman, termasuk konsepsi ideologis tentang seni transendental yang bebas dari kausalitasnya maupun semua determinisme.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Narsisme adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang mengalami gejala ini disebut narsisis (narcissist). Istilah ini pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos (versi bahasa Latin: Narcissus), yang dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya, sehingga ia tenggelam dan tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis. Sifat narsisisme ada dalam setiap manusia sejak lahir.
Melalui seni narsisme juga memungkinkan kita untuk melipatgandakan eksistensi kita dengan mengaktualisasikan kemunkinan-kemungkinan yang tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata. Gagasan tersebut tidak terlalu istimewa. Ada juga gagasan bahwa seni memungkinkan kita untuk melipatgandakan kematian, untuk berkali-kali menyeberangi kematian, sehingga seakan-akan melalui seni kita menjinakkan kematian.


DAFTAR PUSTAKA
Max Miner. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra. Jakarta: Intermasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar