Minggu, 03 November 2013

Makalah Teori Sastra (Dalam buku A.teeuw)



BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang                               
Teori sastra dan sejarah sastra dalam kajian ini lebih mendekatkan pada pendekatan sejarah sastra yang tradisional, prinsip dasar sejarah sastra beberapa faktor yang relevan untuk sejarah sastra, penulisan sejarah sastra, dan sejarah sastra Indonesia.
Sastra, khususnya sastra  Indonesia, sering diidentikan dengan seni dalam tulis menulis oleh masyarakat awam.Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena sebuah karya sastra yang dapat banyak aspek yang mendukung sebuah kesenian. Berbicara tentang seni, tidak dapat dilepaskan dari estetika. Seni memang tidak dapat dipisahkan dari sebuah keindahan walau sebuah seni itu belum tentu indah, namun setiap karya itu sedikit hanya memiliki estetika dimata sebagian orang. Keindahan ada dimana-mana. Disetiap pandangan alam terdapat keindahan. Bahkan setiap benda sedikit banyak menyiratkan keindahan, walupun sedikit keindahan dapat ditangkap oleh setiap indera manusia. Dengan indera itulah, manusia menikmati setiap keindahan yang ada. Khususnya karya sastra, manusia dapat merasakan keindahan dari tulisan-tulisan yang mencerminkan pemikiran dari sang penulis.
2. Rumusan Masalah 
Penulis merumuskan masalah makalah ini adalah untuk mengetahui penjelasan lebih lanjut tentang:

  1. pendekatan sejarah sastra yang tradisional 
  2. Prinsip dasar sejarah sastra 
  3. Beberapa faktor yang relevan untuk sejarah sastra 
  4. Penulisan sejarah sastra 
  5. Sejarah sastra Indonesia. 
  6. Ilmu sastra dan estetika

3. Tujuan 

  1. Mahasiswa / Mahasiswi penulisan ini dapat memberikan masukan tentang teori sastra dan sejarah sastra 
  2. Dapat dijadikan acuan dalam melaksanakan proses belajar dan pembelajaran
  3.  

BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Sastra dan Sejarah Sastra
1. Pendekatan Sejarah Sastra yang Tradisional
Pada abad ke-19 ilmu sastra terutama terarah pada penelitian sejarah sastra. Tetapi ini tidak berarti bahwa ilmu sastra yang bersifat kesejahteraan itu hanya seragam dan semacam. Empat pendekatan yang utama, masing-masing dengan variannya:
a.  Karya sastra dan penulisnya ditempatkan dalam rangka yang disediakan oleh ilmu sejarah umum. Satu varian pendekatan ini yang cukup menonjol mempergunakan kerangka universal sejarah kebudayaan (universal berarti Eropa), sehingga sastra dibagi-bagi dalam periode menurut gambaran sejarah kebudayaan Barat misalnya dengan membedakan sastra Barok, Rasionalisme, Romantik. Pendekatan ini melampaui batas bahasa dan bangsa individual. Pada abad ke-19 sejarah makin bersifat sejarah nasional, dalam varian sejarah sastra yang bersifat nasional diambil kerangka sejarah kebudayaan umum, dalam wujud nasional khas, kerangka sejarah politik nasional.
b.  Pendekatan yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung, atau gabungan dua kriteria ini. Contohnya dalam buku Kalangwan tulisan Profesor Zoetmulder (1974) yang berjudul The Rãmãyana; Arjunawiwaha, gubahan Mpu Kanwa; Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Pedekatan ini mudah dan praktis, juga untuk tujuan pengajaran, tetapi belum dapat disebut sejarah sastra yang sesuai dengan sifat khusus objek penelitiannya.
c.  Pedekatan lain yang pada abad ke-19 sangat populer dan membawa hasil yang gilang-gemilang adalah dalam bahasa Jerman Stoffgeschichte yaitu penelitian sejarah bahan-bahan dengan penelusuran sumber-sumber. Pendekatan sejarah sastra ini memusatkan perhatian pada motif atau tema yang tedapat dalam karya sepanjang zaman. Pokok dalam penelitian sejarah sastra yaitu ditelusuri asal-usul dan perkembangan serta pemanfaatan anasir tertentu. Empat pendekatan utama terhadap ilmu sastra bandingan, tentang pemerincian kemungkinan penelitian menurut pendapat ini:
a.       Relations: analogies and influences.
b.      Movements and trends (gerakan dan aliran).
c.       Genres and forms (jenis dan wujud sastra yang khas).
d.      Motives, types, themes.
d.  Pendekatan keempat yang khas, yang lebih memperhatikan asal-usul karya sastra yaitu sejarah sastra yang mengambil sebagai kriteria utama untuk penahapan sejarah pengaruh asing yang berturut-turut dapat ditelusuri pada perkembangan sastra tertentu. Dibidang sastra se-Indonesia belum ada sebuah buku yang sungguh bersifat sejarah sastra, demikian pula belum ada penulisan sejarah tentang sastra Indonesia modern yang sungguh ilmiah dam memuaskan dari segi teori sastra.
      2.    Prinsip Dasar Sejarah Sastra 

       Teori sastra pertama-tama dan terutama harus meneliti kompetensi sastra,yaitu keseluruhan konvensi yang memungkinkan pembacaan dan pemahaman karya sastra. Analogi dengan ilmu bahasa: strukturalisme mengemukakan dan membuktikan benarnya pendapat bahwa bahasa adalah sistem semiotik; di dalamnya anasir-anasir dan bagian-bagiannya berkaitan satu sama lain, sehingga anasir masing-masing ditentukan nilai maknanya oleh oposisi dengan anasir lain. Secara ideal sejarah bahasa adalah sejarah sistem itu seluruhnya. Setiap perubahan dalam anasir atau bagian sistem itu ada akibatnya untuk anasir lain dan untuk keseluruhannya. Bagian sistem sastra yang dari segi teori sastra paling wajar dan paling masuk akal penggarapannya pastilah sejarah sistem jenis sastra
      3. Beberapa Faktor yang Relevan untuk Sejarah Sastra 
a.  Dinamika Sistem Sastra
Pendekatan terhadap masalah sejarah sastra yang paling sesuai dengan sifatkarya sastra yang paling sesuai dengan sifat karya sastra sebagai gejal semiotik haruslah mengambil titik tolak dari penelitian jenis sastra. Fakta dan pertimbangannya yaitu konsep jenis sastra yang modern bersifat dinamis, tidak statis. Hal itu di sebabkan oleh pandangan bahwa karya sastra selalu berada dalam tegangan antara konvensi dan kreasi. Karya sastra tidak hanya melaksanakan konvensi jenis sastra, melainkan sering melampaui, bahkan merombaknya. Norma dan konvensi jenis sastra tetap berubah, dan itulah yang termasuk hakikat sejarah sastra. Hal itu tidak hanya benar untuk sastra Barat modern tetapi dalam sastra tradisional pun norma dan konvensi jenis sastra sering berubah.
b. Pengaruh Timbal Balik antar Jenis Sastra
Dalam dinamika sistem sastra seluruhnya kaitan dan oposisi diantara jenis-jenis sastra merupakan faktor yang hakiki. Fungsi jenis sastra tertentu tidak hanya ditentukan oleh ciri-ciri intrinsiknya tetapi pula oleh kaitannya atau pertentangan jenis lain. Dalam sejarah sastra sering dilihat transformasi teks tertentu dari satu jenis ke jenis yang lain: parwa Jawa Kuno dipindahkan ke dalam bentuk kakawin, seperti yang masih dapat ditelusuri dalam beberapa hal (Supomo, 1977). Sejarah sastra pada prinsipnya harus berpusat pada sejarah jenis sastra namun jenis sastra dan perkembangannya tidak boleh ditelusuri dalam isolasi.
c.  Intertekstualitas Karya Individual dan Sejarah Sastra
Kaitan antara jenis sastra dan karya individual memperhadapkan penelitidengan berbagai masalah yang memperumit sejarah sastra. Hal itu diakibatkanoleh hubungan yang ambigu antara karya individual dan norma-norma jenis sastra. Dinamika perubahan sistem sastra ditentukan oleh dan terjelma dalam karya-karya individual dalam hubungan antar teksnya.
d.  Sejarah Sastra dan Sejarah Umum
Hasil penelitian dan perkembangan teori sastra Jausz dan Mukarovsky-Vodicka yaitu sejarah sastra ditulis dalam isolasi terhadap sejarah umum. Tetapi tidak boleh pula sejarah sastra diabdikan pada sejarah umum: hubungan antara perkembangan sejarah sastra dan perkembangan masyarakat adalah hubungan timbal balik, baik sastra itu bersifat alternatif, restoratif, maupun negatif terhadap perkembangan kemasyarakatan tertentu.
 e.  Penelitian Resepsi Sastra dan Sejarah Sastra
Resepsi karya sastra itu sendiri yaitu tidak hanya oleh para pembaca yang sezaman dengan penulis, tetapi juga resepsi oleh angkatan pembaca yang berturut-turut sesudah masa penciptanya. Dinamika perkembangan sastra justru terungkap lewat pergeseran nilai sastra, termasuk perubahan dalam lingkungan pembaca yang menikmati karya sastra tertentu. Penelitian resepsi itu menyediakan berbagai kesulitan metodis dan teknis.
       f.   Sastra Lisan dan Sejarah Sastra
Peranan sastra lisan dan sejarah sastra, sastra yang seluruhnya terdiri atas sastra oral sejarahnya sukar ditulis kalau tidak secara kebetulan terselamatkan bentuk lama yang tercatat oleh peneliti-peneliti atau pencinta sastra pada masa lampau. Sastra lisan pun sering mempunyai dinamika intrinsik yang kuat sekali ataupun berubah akibat pengaruh sastra asing (tulis atau lisan). Sastra lisan dalam berbagai  bentuk dan dengan berbagai cara terus-menerus mempengaruhi perkembangan sastra tulis.
       g.  Sejarah Sastra Indonesia dan Sejarah Sastra dalam Bahasa Nusantara
Komplikasi antara sejarah sastra ekabahasa (Jawa,  Melayu, Sunda dan lain-lain) terapadu dalam sintesis yang lebih merangkum dan menyeluruh dan sejarah sastra se-Indonesia untuk penulisannya seharusnya dilakukan seiring pada dua tataran sekaligus: tataran ekabahasa dan tataran se-Indonesia. Pentingnya bahasa sebagai sarana pengikat dan pembatas sastra sukar disangkal, sistem sastra dalam suatu bahasa tertentu adalah sistem terbuka yang antara lain dipengaruhi oleh sastra dalam bahasa lain.
     Sastra se-Indonesia situasinya lebih kompleks lagi. Pada satu pihak sejak dahulu ada pengaruh timbal balik di antara bahasa-bahasa Indonesia tertentu. Sastra tulis Indonesia sangat dipengaruhi oleh sastera luar Indonesia khususnya dalam bahasa Sansekerta, Arab dan Parsi. Sejarah sastra di Indonesia tidak mungkin ditulis bahasa demi bahasa, tanpa memperhitungkan sastra dalam bahasa lain, baik dari segi ilmiah maupun dari segi pendidikan nasional penting sekali penciptaan suatu sejarah sastra se-Indonesia.
4.    Beberapa Saran dan Contoh tentang Penulisan Sejarah Sastra: Metode Penampang Sinkronik:  Jausz dan Tahun 1857 dalam Lirik Prancis
Pertama-tama dijelaskan atas dasar analisis permasalahan sejarah sastra bahwa tidak ada satu pendekatan saja yang dapat dipakai untuk menulis sejarah. Satu pendekatan yang dari segi teknik penelitian memberikan harapan akan hasil yang memuaskan dalam situasi sejarah sastra indonesia adalah metode yang diajukan oleh Jausz dengan penulisan sejarah sastra lewat sejumlah penampang sinkronik yang kemudian disambung satu dengan yang lain. Contoh sebuah karangan yang terkenal (Jausz; 1977a: 343-376; juga pada Warning, 1975; 401-434) Jausz melaporkan mengenai sejarah sastra di Perancis pada tahun 1857 , suatu Ouerschnittsanalyse. Mengenai hubungan antara sejarah sastra dann sejarah umum Jausz berusaha mengaitkan situasi sastra dengan situasi kemasyarakatan Perancis.
5.    Kemungkinan Penerapan Metode Penampang Sinkronik di Indonesia
Metode penampang sinkronik pasti dapat diterapkan dengan hasil yang baik; misalnya untuk sastra Indonesia modern dapat dilangsungkan penelitian tentang sastra yang pada satu saat tertentu atau selama periode singkat diciptakan. Hubungan intrinsik diantara karya-karya itu (dari segi nilai dan norma) dapat ditelusuri, berdasarkan analisis intrinsik serta data ekstrinsik seandainya ada(kritik sastra, uraian teori sastra dan lain-lain). Tetapi kaitan antara sastra dan keadaan kemasyarakatan oleh penampangan sinkronik dapat diteliti atas dasar studi sosiologi,sejarah,ilmu polotik dan lain-lain mengenal sama yang sama.
6.    Pendekatan Berdasarkan Jenis Sastra
Pendekatan lewat sejarah sastra contohnya sejarah jenis sastra Jawa Kuno kakawin. Peneliti khususnya Zoetmulder yang dalam buku Kalangwan (1974) menyimpulkan pengetahuan kita tentang sastra jenis ini.Juga berkat Zoetmulder yang menyusun kamus Jawa Kuno yang cukup lengkap (1982) kita diberi kemungkinan untuk meneliti teks-teks Jawa Kuno dari segi stratigrafi bahasa dan intertekstualitas. Sehingga di masa depan para peneliti berangsur-angsur menciptakan secara intrinsik jenis sastra kakawin. Dalam hal sastra Melayu kemungkinan yang sama untuk jenis sastra yang disebut syair.

7.    Sejarah Sastra se-Indonesia
Dalam tulisan yang diterbitkan pada tahun 1976 pernah dibicarakan teks-teks dalam bahasa–bahasa Indonesia yang disebut historis atau genealogis: babad, sejarah. Dalam tulisan itu diajukan penting dan perlunya teks tersebut diteliti sebagai teks kesastraan, dengan metode dan pendekatan yang sesuai dengan sifat utamanya, sebab teks semacam ini (contoh yang terkenal: Sejarah Melayu, Babad Tanah Lawi) teks ini tidak boleh dipandang sebagai dokumen sejarah dalam arti ilmu sejarah modern.
Karakteristik teks ini hanya tepat untuk sejumlah teks lain dalam lingkungan sastra Jawa-Bali. Teks yang dari segi struktur literernya sangat mirip terdapat dalam sastra Melayu, dengan judul sejarah atau hikayat            (Hikayat Banjar, Hikayat Patani, Hikayat Raja-Raja Pasai). Dalam sastra Sunda bandingkan studi Edi Suhardi Ejkadjati (1982, disertasi 1979) dan Herman Soemantri (1979), Bugis (Noorduyn, 1955), Aceh dan lain-lain.
Penelitian sastra lisan dalam rangka se-Indonesia banyak memberikan kemungkinan yng sangat mempesona. Berbagai sastra lisan yang masih berfungsi dalam berbagai masyarakat di Indonesia, yang kemudian dapat dibandingkan dan dipadukan dalam interpretasi menyeluruh.
B. SASTRA SEBAGAI SENI MASALAH ESTETIKA
1. Ilmu Sastra dan  Estika
Dalam praktek penelitian sastra biasanya hubungan dengan ilmu bahasa lebih ditekankan daripada kaitan dengan ilmu seni, sedangkan estetika itu sendiri pun lebih mencurahkan perhatian pada seni-seni lain (khususnya seni lukis, seni patung, seni ukir, seni tari, seni musik, seni bangunan dan lain-lain) daripada seni bahasa. Alasan untuk mendahulukan seni-seni bukan bahasa mudah dipahami justru seni bahasa menimbulkan masalah yang khas karena bahasa sebagai sarana seni bagi seniman pada prinsipnya berbeda dengan cat, batu, perunggu, gerak-gerik, not-not yang merupakan sarana untuk seni lain. Bahasa sendiri, sebelum dipakai oleh seniman sudah membentuk sistem tanda dengan sistem makna yang mau tak mau mendasari ciptaan sastrawan. Demikian pula peneliti sastra mau tak mau dihadapkan pada masalah kebahasaan sebagai dasar penelitian karya atau sistem sastra. Itulah yang dimaksudkan oleh Lotman dengan bahasa sebagai sistem primer yang membentuk model, sebagai dasar untuk sastra sebagai sistem sekunder yang membentuk model pula.Keadaan ini sangat berbeda dengan situasi seorang palukis yang bahan-bahannya (warna : merah, hitam, biru, dan lain-lain) tidak merupakan sistem makna yang di berikan secara apriori, tidak merupakan sistem semiotik yang sebagian besar mengarahkan seniman dan menentukan kemungkinannya.

2. Sedikit Sejarah Estetika Sastra Barat
Estetika di dunia barat sama tuanya dengan filsafat. Khususnya dalam filsafat Plato masalah estetik memainkan peranan yang sangat penting. Keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat pada tingkat dunia ide dan dunia ide yang mengatasai kenyataan itulah dunia ilahi yang tidak langsung terjangkau oleh manusia, tetapi yang paling banter dapat didekati lewat pemikiran. Para filsufah yang pertama-tama dapat mendekati dunia ide dengan harmoni yang ideal. Seperti yang telah dipaparkan dalam bab mengenai kenyataan (Bab VIII) seniman tidak langsung dapat menjangkau dunia yang tertinggi itu. Dia terikat pada dunia nyata, dari segi itu seni “is a thing of the most inferior value, a shadow” (suatu yang sangat rendah nilainya, bayangan), mimesis dalam arti peniruan. Tetapi plato insaf pula bahwa secaratak langsung seni berhubungan dengan hakikat benda-benda:
“True art ... strives to transcend the material world; in its poor images it tries to evocate something of that higher realm of being which also glimmers through phenomenal reality ... in true art likeness does not refer to common place reality, but ideal beauty”.
(Seni sejati berusaha mengatasi dunia kenyataan dalam bayang-bayang yang hina diusahakannya menyarankan seuatu dari dunia yang lebih tinggi, yang juga terbayang dalam kenyataan fenomena ... dalam seni sejati kemiripan tidak menyatu pada kenyataan sehari-hari melainkan pada keindahan ideal, Verdenius, 1949:18-19).

3. Estetika Terlepas dari Norma Agama dan Etika
Pada awal abad ke-14 pandangan dunia dan anggapan estetika tetap sama yaitu memangsecara sadar mengalami dan menikmati keindahan alam sebagai sesuatu yang baru bagi dia pribadi tetapi diapun masih terikat kepada alam sebagai ciptaan Tuhan, dan penikmatan yang secara sadar dialaminya bagi dia tidak menjadi kemampuan yang menyanggupkannya untuk selaku seniman merebut dunia menjadi perolehan individual. Situasi ini baru tercapai pada abad ke-18 oleh Rosseau yang menikmati keindahan semesta demi keindahannya , tanpa latar belakang Tuhan sebagai teladan. Rosseau merupakan seniman yang otonom yang dalam karya seninya merebut dan menafsirkan dunia dan alam sebagai ciptaan dia sendiri. Pandangan berbeda berasal dari Charles Baudelaire yang menerbitkan kumpulan puisi dengan judul yang profokatif: “Les fleurs du mal” bunga seni (keindahan) yang tumbuh dari yang jahat atau yang buruk. Alam dan dunia dalam visi Baudelaire jahat, tidak baik, malahan musuh manusia, dan penyair bertugas untuk memerangi keadaanyang buruk itu dan untuk mengatasinya dengan sebagai satu-satunya senjata.

4. Beberapa Pendekatan Estetika Indonesia: Melayu dan Jawa Kuno.
Memang dibidang sastra tradisional Indonesia teori estetika yang eksplisit tidak diketahui. Tetapi ada konsepsi estetika yang implisit terkandung dalam sastra Melayu Klasik dan puisi Jawa Kuno. Teori ini belakangan digali oleh peneliti karya-karya sastra yang bersangkutan dan yang kemudian dipaparkan dalam studi yang sangat menarik. Yang satu menyangkut sastra Melayu Klasik. Merujuk pada sebuah makalah peneliti Rusia yang bernama V.I. Braginsky. Braginsky secara sistematis menguraikan konsep estetika yang mendasari sastra Melayu Klasik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Braginsky membedakan tiga aspek pada konsep keindahan Melayu:
1)        Aspek Ontologis, keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan tuhan Yang Maha Pencipta; berkat daya cipta-Nya keindahan mutlak dari tuhan (al-jamal = Yang Maha elok) dikesankan pada keindahan dunia gejala (husn = indah) khususnya dalam karya seni dan satera.
2)        Aspek Imanen, dari yang indah trungkapkan dalam kata-kata seperti ajaib, gharib, tamasya dan lain-lain. dan selalu terwujud dalam keanekaragaman, keberbagaian yang harmonisdan teratur, baik dalam alam maupun dalam ciptaan manusia.
3)        Aspek Psikologis atau Pragmatik, efek pada pembaca yang menjadi heran, birahi, leka, lupayang kehilangan kepribadiannya karena mabuk, dimabuk warna, keanekaragaman dan lain-lain, yang terungkap daam istilah Penglipur Lara.
Jelaslah dari tulisan Braginsky pandangan Estetika yang terkandung dalam sastra Melayu Klasik dekat dengan teori sastra Arab yang ditentukan oleh kergantungan seniman pada teladan yang agung, yaitu semesta sebagai ciptaan Tuhan, pencipta Yang Maha Esa.

Konsepsi estetika puisi Jawa Kuno, berasal dari Prfesor Zoetmulder dalam bab yang berjudul “Religio poetae” puisi bagi sang penyair (kawi namanya) adalah semacam yoga atau latihan rohani tertentu. Dalam agama hindu jawa Yoga adalah usaha manusia untuk mencapai kesatuan dengan sang dewa, dan lewat kesatuan keagamaan itu manusia akhirnya nencapai Moska(kelepasan), pembebasan akhir dari rantai eksistensi. Bagi orang lain yoga biasanya bersifat usaha rohani (pengabdian kepada sang dewa lewat tapa, brata, puasa, studi semadi, sesajen, pembacaan teks agama dan lain-lain). Dalam visi puisi Jawa Kuno bagi Penyair atau Kawi puisilah yang menjadi sarana untuk mencapai tujuan terakhir; puisi adalah agamanya, Sang dewa yang ingin ditemukannya menjelma selaku Dewa Keindahan dan Keindahan (Kalangwan, dalam bahasa jawa Kuno) menjadi tarekat, jalan untuk mencapai tujuan teersebut.

5. Tagangan Sebagai dasa penilaian estetika
Seperti yang telah dipaparkan dalam bab VII ide-ide Mukarovsky pada awalnya terikat pada formalisme Rusia dalam perkembanganna ke arah strukturallisme, tetapi kemudia pendirian Mukarovsky bergeser lagi lewat konsepsi seni sebagai fakta semiotik yang telah diungkapkannya pada tahun 1934 dan penekanannya pada fungsi estetik sebagai sesuatu yang dinamis, yang tidak sama, Mukarovsky mencapai kesimpulan bahwa fungsi estetik adalah “The mode of a subject’s self-realization vis-a-vis the external world” (cara subjek melaksanakan diri terhadap dunia lahir) fungsi estetik bukanlah pertama – pertama atau semata – semata kualitas karya seni secara objektif melainkan bergantung pada aktivitas penikmat. Justru itulah perbedaan antara unsur bahasa sebagai tanda dan karya sastra sebagai tanda unsur bahasa mempunyai makna yang tetap, terletak pada tanda itu seendiri. Tetapi dalam karya seni sebagai fakta semiotik “It is not the Result which is important but the process it self” (bukanlah hal yang penting dalam seni, melainkan proses penemuan makna itu sendiri, Stainer dalam Mukarovsky, 1978; XXXII). “Aesthetic value foregrounds the act of evaluation” (nilai estetik melatardepankan tindak evaluasi) menurut pandangan ini kenyataan yang bukan semiotik ditranformasikan oleh pembaca menjadi arti estetik. “the estetic function foregrounds the subject” (fungsi semiotik melatardepankan subjek).
Dalam visi estetika Jan Mukarovsky nilai estetik adalah sesuatu yang lahir dari tegangan antara pembaca dan karya bergantung pada aktivitas pembaca selaku pemberi arti karna itu nilai estetika adalah proses yang terus-menerus, bukan perolehan yang tetap, sekali diperoleh tetap dimiliki. Visi inilah yang dapat menjelaskan mengapa sebuah karya seni terus-menerus dapat memikat penikmat, mengapa sebuah karya sastra yang baik dapat dinikmati kembali walaupun dibaca untuk kesepuluh kali. Pemberian arti adalah aktivitas yang terus-menerus, seperti disebutkan oleh ahli semiotik dan teori sastra Michael Riffaterre: “A kind of semiotic circularity (or a seesawing from one sign value to another) Characterizing the prectice of sgnification known as poetry” (semacam keingkaran semiotik atau mundur-maju dari nilai tanda kesatu nilai yang lain, yang merupakan ciri khas praktek pemberian makna yang disebut puisi; Riffaterre, 1978: 166).
“in the reader’s mind it means a continual recommencingn, an indecisiviness resolved one moment and lost the next with each reliving of revealed significane, an this it is that makes the poem endlessly rereadable and fasionating”.
(hal itu berarti, dalam pikiran pembaca, suatu permulaan yang terus-menerus, suatu keketakterputusan yang selesai satu detik, muncul lagi detik berikutnya, setiap kali arti yang terungkap dihidupi kembali, itulah yang menjadikan sajak tak henti-hentinya terulang baca dan mempesona).

6.  Tegangan Pertama Fungsi Puitik Bahasa
Tegangan pertama yang dihadapi oleh pembaca ( demi mudahnya dipakai istilah pembaca,tetapi sesuai dengan keadaan teks tertentu istilah ini juga melingkupi pendengar dan pemikat seni lain ) tidak perlu dibicarakan lagi secara panjang lebar : yakni tegangan yang ditimbulkan oleh pemakaian bahasa itu sendiri dalam seni sastra. Memang benar bahwa poetic funtion ala jakobson tidak cukup untuk membatasi seni sastra terhadap bentuk pemakaian bahasa lain ; tetapi ini tidak berarti bahwa pemakaian bahasa sastra sesuai dengan konvensi yang berlaku pada masyarakat tertentu tidak menunjukkan ciri khas .Setiap sastrawan,baik dalam masyarakat tradisional maupun modern, memainkan bahasa, memanfaatkan kemungkinan dan potensi bahasa,sesuai dengan dengan norma – norma yang terdapat dalam masyarakat itu,dan biasanya berbeda menurut jenis sastra (puisi prosa naratif,dan seterusnya).Dalam sastra arti sehari- hari ditingkatkan menjadi makna semiotik,entah disebut ambigultas,ironi,atau apa pun.Disini jelaskanlah ada tegangan antara harapan yang harus dipenuhi dan disimpangi sekaligus.Tegangan itu merupakan bagian yang hakiki dari penikmatan estetik dalam sastra.Tegangan itu dapat terjadi karena bermacam – macam keistimewaan : pemakaian kata- kata yang aneh,kolot,asing,kata majemuk yang baru,malahan paradoksal,kata turunan yang tidak biasa lagi dalam bahasa seharin-hari (arkaisme) atau justru sama sekali baru (neologisme),belum pernah dipakai walaupun sesuai dengan potensi sistem bahasa,untaian kata yang aneh,menyimpang dan seterusnya.

7. Tegangan yang Inheren pada Struktur Karya Sastra
     Tegangan lain yang dapat dikatakan dalam karya seni adalah tegangan yang inheren pada sesuatu yang merupakan struktur. Struktur karya sastra bersifat multidimensional, atau berlapis-lapis, sering kali juga disebut hierarkis.Dalam hubungan ini terkenalah teori Roman Ingardenyang dikutip oleh Wellek dan Warren dalam bab mengenai ‘the modes of lxistence of a alam bab sastra norma yaitu bunyi, dunia kata sebagai satuan arti, dunia karya yang direka dalam karya sastra)tokoh, latar, benda dan lain-lain);lapis keempat adalah segi pandangan karya yang mungkin terungkap,mungkin pula terkandung;akirnya lima lapis ialah lapis kualitas metafisik: yang dahsyat yang suci,yang mulia,dan lain-lain. Entah pembagian struktur ini universal atau tidak,namun jelaslah setiap karya sastra mempunyai sejumlah aspek yang saling menopang dan yang sering kali menunjukan interaksi yang kuat sekali: bunyi(rima,mantra),lapis morfolongi,lapis makna kata,lapis kesejajaran dalam struktur kalimat dan lain-lain,semuanya ikut serta dalam membangun dunia arti yang menyeluruh : dalam setiap analisis stuktural yang baik aspek-aspek itu dalam interaksi dan pegangannya diperjelas. Dan dikupas secara teliti, tegangan merupakan syarat untuk penikmatan estetik. Pembaca sebuah karya terus berada dalam situasi tegangan antara semua aspek yang ingin di bina yang menjadi keseluluhan yang utuh: tanpa tegangan semacam itu penilaian estetik pasti lebih rendah,berbagai harapan berbaur dan berbentur dan dari perbauran dan terbenturan itu harus terjadi nilai estetik menyeluruh yang tinggi.

        8. Variasi Karya sebagai Sumber Tenaga
Sebab dalam sejarah sastra ternyata ada pula tegangan antara bentuk asli dan variasi setiap karya sastra yang hidup sepanjang beberapa waktu mengalami bermacam-macam perubahan, seperti yang telah dibicarakan dalam bab tersebutseni sastra oral, variasi malahanmenjadi prinsip. Variasi tidak kurang merupakan ciri teks tulisan, sampai dengan teks yang telah dicetak. Perbedaannya hanyalah begini: pembaca bisa sering kali tidak sadar akan variasi dalam bentuk sebuah teks, sehingga dia menerima teks yang kebetulan diperolehnya. Tetapi seorang ahli dapat ilham baru dari perbandingan variasi teks. Justru variasi sebuah teks yang “sama”dapat menimbulkan kegairahan yang khas: variasi antara satu naskah dan naskah lain, ada kalanya cetakan yang satu dan cetakan yang lain mempunyai fungsi semiotik secara intertekstual: justru variasi yang terdapat antara cetakan pertama, dimasa kolonial, dari buku Hulubalang Raja tulisan Nur St. Iskandar dan cetakan kedua yang diterbitkan sesudah merdeka dan yang disesuaikan oleh penulis dengan zaman memerdekaan, mempertajam secara signifikan makna kedua edisi buku itu dalam pertentangannya.

9.  Tegangan antara Konvensi Sastra dan Karya Individual
     Dalam setiap masyarakat sastramerupakan semacam sistem konvensi yang secara sadar atau tidak sadar dikenakan, baik oleh penulis ,atupun oleh pembaca karya sastra; itulah yang dibicarakan dalam Bab IV; yang dikemukakan disanah berarti bahwa selalu ada tegangan antara sistem konvensi itu sesuai dengan kemampuan pembaca individual (sebab kompentensi semua pembaca dalam salah satu masyarakat pasti tidak sama dalam hal ini ) dan karya individual. Dalam pemahaman dan penilaian karya sastra pembaca tidak hanya diarahkan dan dibimbing oleh kemampuannya sebagai pemakai bahasa; bagi pemberian arti tak kurang pentinglah sistem konvensi, sistem sastra itu seluruhnya. Yang penting disini akibat perubahan semacam itu bagi penikmatan estetik,: pembaca, dan harapan tertentu berdasarkan pengetahuan tentang sastra lama itu diputar balikan; tegangan antara yang lama dan yang baru dialaminya, dan harus dicernahkan secara estetik. Ada pembaca yang tidak mampumengikuti secara kreatif revolusi yang dihadapinya; bagi mereka kompetensi lama terlalu kuat dan normatif, mengikat atau memuaskan, sehingga penilaiannya terhadap yang baru negatif saja; yang baru dianggap tidak baik, tidak indah,aneh,gila atau apa pun sebutannya. Hubungan intertekstual sebuah karya tidak disadari atau diketahui oleh setiap pembaca, dan kenikmatan membaca tidak harus berdasarkan pengetahuan atau penghayatan karya sastra yang merupakan hipogramnya (Riffaterre, Bab V), tetapi pengetahuan sejarah sastra tentang hubungan semacam itu menimbulkan efek estetik, tambahan.Tegangan itu dapat terwujud dengan berbagi ragam. Di atas telah disebut nilai tambahan yang diperoleh dari sejak Chairil Anwar: “Senja di Pelabuhan Kecil”, kalau dibaca secara intertekstual dangan sejak Amir Hamzah yang berjudul “Berdiri Aku”contoh lain: orang dapat membaca dan merikmati Rara Mendut saduran Ajib Rosidi atau Y.B. Mangunwijaya tanpa pengetahuan apa-apa mengenai latar belakang ceritanya. Tetapi seseorang pembaca yang pernah membaca Serat Prancis pasti akan mengalami kenikmatan tambahan berkattenaganya itu.


10.Tegangan antara Mimestis dan Kreasi, atau Kenyataan dan Alternatifnya
Sastra alternatife mimesis dan kenyataan, serta keadaan sastra.Dua aspek dari masalah kaitan antara sastra dan kenyatan langsung relevan untuk nilai estetik karya sastra. Pertama-tama ambivalensi karya sastra terhadap kenyaataan merupakan prinsip dasar kesusastraan: dalam membaca karya sastra kita selalu menghadapi satu dunia yang sekaligus kita kenal (kembali) dan yang asing dan baru bagi kita . Takaran antar kenyataan yang dikenal dan rekan yang baru sudah tentu dapat berlainan antara sebuah karya dan karya lain. Tetapi mimesis dan kreasi, dalam gabungan tertentu merupakan syarat mutlak untuk karya seni; karna justru campuran itu menggalakan minat dan kegairahan kita selaku pembaca.Tetapi hal itu tidak hanya benar pada tataran kaitan antara faktualitas dan fikionalitas, antara yang sungguh terjadi dan yang menjadi rekaan atau fantasi.Karya seni melibatkannya dalam masalah-masalah hakiki bagi kehidupan selaku manusia dan warga masyarakatnya. Dalam konfrontasi antara norma kenyataan dan norma alternatife mungkin timbul keterharuhan, pengalaman estetikpada pembaca karena disadarinya tegangan antara realitas dan impian hidupnya .



















BAB III
SIMPULAN

Pendekatan Sejarah Sastra yang Tradisional terbagi atasKarya sastra dan penulisnya ditempatkan dalam rangka yang disediakan oleh ilmu sejarah umumPendekatan yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung, atau gabungan dua kriteria ini, Pendekatan lain yang pada abad ke-19 sangat populer dan membawa hasil yang gilang-gemilang adalah dalam bahasa Jerman Stoffgeschichte yaitu penelitian sejarah bahan-bahan dengan penelusuran sumber-sumber,  Pendekatan keempat yang khas, yang lebih memperhatikan asal-usul karya sastra yaitu sejarah sastra yang mengambil sebagai kriteria utama untuk penahapan sejarah pengaruh asing yang berturut-turut dapat ditelusuri pada perkembangan sastra tertentu.
Faktor yang Relevan untuk Sejarah Sastra yaitu Dinamika Sistem Sastra, Pengaruh Timbal Balik antar Jenis Sastra, Intertekstualitas Karya Individual dan Sejarah Sastra, Sejarah Sastra dan Sejarah Umum, Penelitian Resepsi Sastra dan Sejarah Sastra, Sastra Lisan dan Sejarah Sastra, Sejarah Sastra Indonesia dan Sejarah Sastra dalam Bahasa Nusantara,
Nilai karya sastra adalah sesuatu yang variabel, menurut peranan faktor-faktordari model semiotik dalam situasi konkret tertentu. Itulah alasan terakhir dan paling mustahil mengapa ahli sastra selalu harus sadar akan model semiotik karya sastra sebagai dasar penelitiannya. Hal itu tidak berarti bahwa dalam sastra sebagai dasar penelitiannya. Hal itu tidak berarti bahwa dalam setiap penelitian konkret selalu harus dieksplisitkan dan diikutsertakan hal itu praktis juga tidak mungkin. Analisis struktur karya sastra adalah objek dan tujuan penelitian yang sah, asal peneliti sadar bahwa hasilnya tidak mutlak benar dan hanya bernilai nisbi. Demikianlah, penelitian resepsi karya sastra dalam masyarakat tertentu atau sepanjang masa adalah objek penelitian yang halal dan penting, dan tidak perlulah sekaligus mengadakan penelitian struktur dan seterusnya.





DAFTAR PUSTAKA
  • Teeuw Andries, Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta: Pustaka Jaya, 1988

Tidak ada komentar:

Posting Komentar